Selasa, 31 Maret 2009

Terbuka Pada Misteri Lestarikan Relasi

Setiap orang butuh dekat dengan orang lain, tidak bisa tidak. Kedekatan yang tulus akan memberikan rasa nyaman karena bisa saling berbagi rasa, menolong, dan melampiaskan harapan. Apapun bentuknya, bisa persahabatan, percintaan, pertemanan atau lainnya selalu kita dambakan untuk bisa dimiliki hingga abadi.

Sayang, bentang kedekatan antarpribadi tak selalu mesra seperti yang diharapkan. Ada saat merenggang, ada saatnya menjadi sangat lekat, pun sebaliknya bisa saja terkoyak, lepas dan meninggalkan banyak luka dendam. Tidak ada relasi yang menetap dan mutlak. Nuansa relasi adalah sebuah hamparan nisbi. Inilah yang disebut dinamika relasi antarpribadi, senantiasa bergerak dan berubah.

Hidup yang terus bertumbuh, selera diri, mood pribadi yang terus berkembang, juga problematika hidup pribadi yang dinamis rupanya menjadi latar atas dinamika relasi antarpribadi yang penuh kenisbian. Setiap saat, setiap pribadi memiliki kemungkinan untuk mengalami pemaknaan hubungan yang berubah. Perubahan diri memberikan sebuah kemungkinan bagi kembang kempisnya relasi. Saat bentang perbedaan ternegosiasikan, maka laras kebersamaan relasi akan terjaga. Namun jika perbedaan tak lagi mendapatkan ventilasi dan titik temu, perpecahanlah hasilnya.

Menurut penuturan banyak orang, keabadian relasi yang mendalam ditentukan oleh kedewasaan. Umumnya relasi yang bertahan ditengarai sebagai buah dari kedewasaan dan cinta tulus pribadi yang menjalinnya. Survei relasi yang dilakukan Richard Jansen, Phd, (pakar komunikasi interpersonal dari Colorado State University) menjelaskan bahwa relasi interpersonal yang bertahan lama didukung oleh dua sikap yang mendasar, yaitu terbuka dan adaptif.

Terbuka artinya, setiap pasangan mesti siap menghadapi segala kemungkinan perubahan atas situasi pasangannya. Jadi tidak sekedar komunikasi yang terbuka saja. Adaptif merupakan kemampuan menyesuaikan diri dan mengomunikasikan penyesuaiannya kepada mitranya.

Ditambahkan Richard, sikap terbuka dan adaptif membuat relasi selalu segar, tidak terbajak pada satu macam penilaian yang baku tentang orang lain; misalnya ia baik, ia setia, ia peduli dan lainnya. Tiada satu pun di dunia ini yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Pribadi, setiap saat bisa berubah, pun kualitas relasi yang disambungnya. Barangkali pribadi yang dulu sangat emosional, bisa saja menjadi sangat fungsional, dan sebaliknya. Semata, ini terjadi karena pertumbuhan pengalaman. Hal ini kadang tidak terprediksi arah maupun percepatannnya.

Deepak Copra, dalam bukunya Quantum Happiness menuturkan, setiap pribadi adalah misteri yang tak tertalakan. Dalam konteks relasi, memaknakan orang lain sebagai sebuah misteri akan memberikan prospek relasi yang jauh lebih sehat. Misteri relasi yang penuh dengan kemungkinan akan memberikan ruang tantangan untuk selalu memperbaharui diri, membuat orang lain lebih tertarik, tanpa menebar harapan secara berlebihan.

Dia yang kemarin, berbeda dengan hari ini, dan esok hari. Tidaklah bijak menilai perjumpaan baru dengan warisan kesan sebelumnya, karena setiap perjumpaan baru akan mencipta makna baru pula. Dengan cara pandang ini kita selalu memiliki tantangan segar dalam setiap perjumpaan. Kita menjadi tertantang mengalami makna baru, bahkan dengan seorang sahabat lama sekalipun. Kearifan untuk memahami kenyataan ini membantu setiap pribadi mengalami relasi secara lebih tercerahkan. Kesegaran pemaknaan relasi akan membuka ventilasi-ventilasi kebersamaan yang memperkokoh jalinan hubungan.

Barangkali kelelahan akan timbul dalam prosesnya, namun segera terobati manakala perjumpaan dengan sahabat menghadirkan makna dan motivasi yang baru. Bolehlah kita mengeluh capai dengan sahabat namun tetaplah sadar bahwa pada setiap diri tersimpan sejuta misteri yang akan membuka pintu-pintu kebersamaan yang mendewasakan. Ini lebih baik, daripada kita harus mengetok label relasi dengan menafikan misteri diri. Meski tampak memuaskan, namun kadang bersimbah luka saat tertabrak oleh kekecewaan terhadap orang lain. (di kutip dari Cahya Indirasari, S.Psi., M.Si, http://www.kompas.com)